Sofa
dan Marwa, menjadi saksi ketaatan
hamba pada Rabbnya, kepatuhan istri pada suaminya,
kecintaan ibu pada anaknya. Siti Hajar perempuan
teladan, telah menoreh tinta sejarah dengan air
keringat yang mengalir disetiap tubuhnya, dengan
cucuran air mata yang berderai tiada hentinya, dengan
hentakan kakinya ketika menyusuri lembah padang pasir
yang gersang.
Ketika matahari membakar terik, sinarnya menodai
kulit, kering, dan pedih, Siti Hajar benar-benar
ditinggalkan suaminya di tengah padang pasir yang
gersang dan menakutkan.
Ketika bekalan habis, buah hati menjerit memekikkan
tangis. Tidak ada air apalagi susu yang membasahi
dahaga si kecil. Lapar menyertai kesendiriannya, debu
padang pasir menyiram debar setiap detak jantungnya.
Di tengah padang pasir tandus dan gersang, siapakah
istri yang ridho di tinggal suaminya. Siapakah suami
yang tenang meninggalkan anak dan istrinya tanpa
bekalan apa-apa.
Ibrahim, suami teladan, ketika menerima perintah dari
Allah, harus meninggalkan istri dan anaknya. Hatinya
rawan, karena harus berpisah dari orang-orang yang
sangat ia cintai. Tapi ia tidak bisa melawan, ini
adalah perintah Allah. Dalam pikirannya waktu itu,
Siti Hajar bukanlah miliknya selamanya, ia bukanlah
tambatan cinta terakhirnya, bukan Ismail yang menjadi
tujuan hidupnya, namun cinta itu berlabuh pada Rabb,
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, tujuannya
mendapatkan ridho Allah, perintah ini pasti mengandung
hikmah.
Siti Hajar dengan ketaqwaan yang ada pada dirinya, ia
lepas suami tercinta dengan deraian air mata, walaupun
sudah tergambar susahnya hidup yang harus ia lalui
tanpa suami tercinta, ia tidak mengeluh pada Rabbnya.
Ia rela hidup sendirian menemani bayi mungil di tempat
yang tak bernyawa, sepi sesepi kesunyian hatinya
mencari-cari seteguk air yang mampu menghentikan
sejenak tangis bayinya.
Tidaklah Allah itu berbuat sia-sia. Tidaklah terjadi
sesuatupun pada diri hambanya melainkan pasti ada
hikmahnya. Tidaklah Allah ciptakan sesuatu itu untuk
kebaikan diri manusia, tidak pula Allah melarang
sesuatu itu juga untuk kebaikan manusia. Istri, suami,
anak, harta benda, bukanlah mutlak milik kita.
Semuanya mutlak milik Allah, jika Ia menghendaki,
mudah saja bagi Allah untuk mengambilnya.
Atas dasar ini Nabi Ibrahim rela meniggalkan anak dan
istrinya di padang pasir yang gersang dan tandus untuk
memenuhi panggilan Rabb-nya.
Istri, suami, anak, harta benda, tidak akan selamanya
menyertai kita. Jangan terlalu mencintai itu semua.
Hanya Allah milik kita selamanya. Namun jangan pula
kita berpaling dari itu semua, karena itu semua dapat
menghantarkan kita kepada perjumpaan dengan sang
pencipta. Istri sholehah, suami yang sholeh, harta
yang kita pergunakan untuk berjuang dijalan Allah akan
dapat memberatkan timbangan kita.
Jika setiap hari ada janda dan duda, kenapa kita takut
kehilangan pasangan kita. Jika pasangan kita bisa jadi
sarana berjumpa dengan-Nya, kenapa kita sibuk
meninggikan kriteria. Jika harta dapat memberatkan
timbangan kita, kenapa kita masih kikir dan pelit
padahal setiap harta yang kita infakkan dijalan Allah
akan berlipat ganda jumlahnya kelak?
Cukuplah sejarah Siti hajar menjadi potret bagi kita
untuk sabar dan ikhlas menjalankan kehidupan ini,
karena tidaklah mungkin Allah menyia-nyiakan
hamba-Nya, semuanya adalah ujian.
hamba pada Rabbnya, kepatuhan istri pada suaminya,
kecintaan ibu pada anaknya. Siti Hajar perempuan
teladan, telah menoreh tinta sejarah dengan air
keringat yang mengalir disetiap tubuhnya, dengan
cucuran air mata yang berderai tiada hentinya, dengan
hentakan kakinya ketika menyusuri lembah padang pasir
yang gersang.
Ketika matahari membakar terik, sinarnya menodai
kulit, kering, dan pedih, Siti Hajar benar-benar
ditinggalkan suaminya di tengah padang pasir yang
gersang dan menakutkan.
Ketika bekalan habis, buah hati menjerit memekikkan
tangis. Tidak ada air apalagi susu yang membasahi
dahaga si kecil. Lapar menyertai kesendiriannya, debu
padang pasir menyiram debar setiap detak jantungnya.
Di tengah padang pasir tandus dan gersang, siapakah
istri yang ridho di tinggal suaminya. Siapakah suami
yang tenang meninggalkan anak dan istrinya tanpa
bekalan apa-apa.
Ibrahim, suami teladan, ketika menerima perintah dari
Allah, harus meninggalkan istri dan anaknya. Hatinya
rawan, karena harus berpisah dari orang-orang yang
sangat ia cintai. Tapi ia tidak bisa melawan, ini
adalah perintah Allah. Dalam pikirannya waktu itu,
Siti Hajar bukanlah miliknya selamanya, ia bukanlah
tambatan cinta terakhirnya, bukan Ismail yang menjadi
tujuan hidupnya, namun cinta itu berlabuh pada Rabb,
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, tujuannya
mendapatkan ridho Allah, perintah ini pasti mengandung
hikmah.
Siti Hajar dengan ketaqwaan yang ada pada dirinya, ia
lepas suami tercinta dengan deraian air mata, walaupun
sudah tergambar susahnya hidup yang harus ia lalui
tanpa suami tercinta, ia tidak mengeluh pada Rabbnya.
Ia rela hidup sendirian menemani bayi mungil di tempat
yang tak bernyawa, sepi sesepi kesunyian hatinya
mencari-cari seteguk air yang mampu menghentikan
sejenak tangis bayinya.
Tidaklah Allah itu berbuat sia-sia. Tidaklah terjadi
sesuatupun pada diri hambanya melainkan pasti ada
hikmahnya. Tidaklah Allah ciptakan sesuatu itu untuk
kebaikan diri manusia, tidak pula Allah melarang
sesuatu itu juga untuk kebaikan manusia. Istri, suami,
anak, harta benda, bukanlah mutlak milik kita.
Semuanya mutlak milik Allah, jika Ia menghendaki,
mudah saja bagi Allah untuk mengambilnya.
Atas dasar ini Nabi Ibrahim rela meniggalkan anak dan
istrinya di padang pasir yang gersang dan tandus untuk
memenuhi panggilan Rabb-nya.
Istri, suami, anak, harta benda, tidak akan selamanya
menyertai kita. Jangan terlalu mencintai itu semua.
Hanya Allah milik kita selamanya. Namun jangan pula
kita berpaling dari itu semua, karena itu semua dapat
menghantarkan kita kepada perjumpaan dengan sang
pencipta. Istri sholehah, suami yang sholeh, harta
yang kita pergunakan untuk berjuang dijalan Allah akan
dapat memberatkan timbangan kita.
Jika setiap hari ada janda dan duda, kenapa kita takut
kehilangan pasangan kita. Jika pasangan kita bisa jadi
sarana berjumpa dengan-Nya, kenapa kita sibuk
meninggikan kriteria. Jika harta dapat memberatkan
timbangan kita, kenapa kita masih kikir dan pelit
padahal setiap harta yang kita infakkan dijalan Allah
akan berlipat ganda jumlahnya kelak?
Cukuplah sejarah Siti hajar menjadi potret bagi kita
untuk sabar dan ikhlas menjalankan kehidupan ini,
karena tidaklah mungkin Allah menyia-nyiakan
hamba-Nya, semuanya adalah ujian.

No comments:
Post a Comment