Oleh : Anwar Nurulyamin
Dalam
kehidupan kita sebagai kaum muslimin, tidak kurang dari tujuh belas kali dalam
sehari semalam, kita berinteraksi dan bersentuhan dengan surat al-Fatihah,
yaitu ketika melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Belum lagi kalau
ditambah dengan shalat-shalat sunat; misalnya sunat rawatib, tahajjud, witir,
dan lain-lain. Itu, berarti bahwa begitu intennya kita bergaul dengan surat
al-Fâtihah. Jadi, sungguh betapa kayanya spiritual kita sekiranya dapat memahami,
menghayati, dan menjiwai ayat demi ayat, kalimat demi kalimat, kata demi kata
dari surat al-Fâtihah itu.
Sungguh,
bukan suatu kebetulan kalau al-Fâtihah dipilih oleh Allah dan Rasulullah SAW.
sebagai bacaan utama (rukun) dalam shalat. Ia memang telah diprogram dan
diformulasikan demikian, agar benar-benar menjadi kekayaan hidup dan menjadi
jiwa (spirit) bagi perjuangan kita.
Allah SWT. telah menurunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW tujuh ayat Al-Quran
yang kelak akan dibaca oleh umatnya secara berulang-ulang dalam kehidupannya,
terutama di dalam shalat. Itulah sebabnya, sehingga al-Fatihah dinamai al-sab’u al-matsâni (QS.15:87). Dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmudzi, Rasullah SAW. menyatakan bahwa surat
yang semisal dengan al-Fâtihah tidak pernah diturunkan dalam kitab-kitab suci
para Nabi sebelumnya, termasuk di dalam kitab Taurat maupun Injil. Artinya, ia
memiliki keistimewaan khusus yang sangat boleh jadi merupakan salah satu
keunggulan ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Fakta sejarah
ini sekaligus menjadi bukti dan motivasi bagi kaum muslimin untuk benar-benar
memaknai, menghayati, dan menjiwai serta mengoptimalkan fungsi atau manfaat
surat al-Fâtihah itu dalam kehidupan kita.
Disamping
berfungsi sebagai sebagai ummu al-Kitâb (induknya
Kitab-Kitab Suci), al-Fâtihah juga mempunyai banyak fungsi lain misalnya
sebagai al-Syifâ (obat penawar) bagi
segala jenis penyakit, baik penyakit lahir terutama penyakit batin. Demikian,
antara lain dinyatakan oleh Rasulullah
SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh
ad-Dârimi. Bahkan dalam riwayat para Imam Hadis yang diterima dari Abu Sya’id
al-Khudri, dikatakan bahwa al-Fâtihah dapat difungsikan sebagai al-Ruqiyyah, dalam arti sebagai “jampi”
untuk pengobatan alternatif jenis-jenis penyakit tertentu, seperti penyakit
yang disebabkan oleh sengatan ular berbisa.[1]
Namun demikian, patut dipahami bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, tergantung
kepada sampai sejauh mana tingkat pemahaman, penghayatan, penjiwaan, dan keyakinan
kita akan kemanjuran firman-firman Allah dalam kehidupan kita. Dengan kata
lain, tergantung kepada keyakinan dan komitmen kita dalam menjiwai dan
mengamalkan nilai-nilai inti ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketika Nabi
Ibrahim A.S. ditanya perihal keberadaan Allah pada saat ia sakit, maka dengan
mantap ia berkata: “Apabila aku sakit, maka Dia-lah yang menyembuhkanku”
(QS.26:80). Dengan demikian, efektifitas ayat-ayat Al-Quran sebenarnya dapat
dirasakan oleh siapa pun, tergantung pada intensitas penghormatan, apresiasi,
dan kesungguhan tiap-tiap individu dalam menghayati dan mengamalkan ayat-ayat
Al-Quran yang dibaca dan dipelajarinya. Al-Quran, semakin didalami dan dihayati,
seperti surat al-Fâtihah ini, maka akan kian dirasakan lebih banyak manfaatnya
dalam kehidupan. Untuk itu, mari kita selami lebih dalam lagi keluasan dan
kedalaman samudra al-Fâtihah untuk memperoleh lebih banyak lagi pelbagai
mutiara hikmah dan kehidupan.
Menurut
Syaikh al-Fakhr Razi, di dalam huruf ba yang
terdapat dalam lafadz basmalah (al-Fâtihah ayat 1), sedikitnya terkandung tiga
makna yaitu: Pertama, lilibtidâ’i, artinya
untuk pernyataan memulai atau melandasi suatu pekerjaan yang akan kita
lakukan. Sehingga sesederhana apa pun pekerjaan kita akan mempunyai akar,
landasan atau pondasi yang bernilai ketuhanan. Sebab, semegah apapun karya
manusia apabila tidak didasari oleh pondasi yang bernilai ketuhanan (Ilâhiah), maka pekerjaan itu dinilai
hampa, tidak bernilai, dan tidak bermakna, alias sia-sia (QS.24:39). “Setiap
perkara yang mengandung nilai kebaikan tetapi tidak dilandasi dengan bismillâhirrahmânirrahîm maka ia
terputus, tidak berakar dan tidak bergantung, serta tidak bernilai dan tidak
bermakna.” Demikian, sabda Nabi SAW dalam salah satu hadis.
Kedua,
makna huruf ba yang terdapat dalam
lafadz basmalah adalah lilisti’ânah, artinya untuk memohon pertolongan Allah. Ketika
kita hendak memulai suatu pekerjaan, lalu kita awali dengan membaca basmalah
seraya kita maknai dan kita niatkan untuk memohon pertolongan Allah, maka
sesulit apa pun pekerjaan kita pasti akan diback
up atau ditolong oleh Allah. Ketika kita bekerja dan pekerjaan kita
ditolong oleh Allah: Maka yang sulit akan terasa mudah; yang berat akan terasa
ringan; yang jauh akan terasa dekat; yang komplek akan terasa sederhana. Secara
psikologis, juga kita tidak akan merasa terbebani. Sebab, kita akan selalu
menyadari bahwa tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada kita bukan
semata-mata karena instruksi atasan, bukan semata-mata bertanggung jawab kepada
manusia. Tapi, hakikatnya bertanggung jawab kepada Allah. Karena itu, target
yang diharapkannya pun bukan semata-mata terbaik menurut penilaian manusia,
tapi terbaik dalam pandangan Allah. Sesuatu yang dinilai baik oleh manusia
belum tentu dinilai baik oleh Allah. Tetapi, sesuatu yang terbaik menurut Allah
sudah pasti terbaik pula menurut manusia yang berpikiran objektif dan berakal
sehat. Inilah salah satu refleksi dari makna ikhlas.
Ketiga,
makna huruf ba yang terdapat dalam
basmalah adalah lis-shahâbah, artinya
untuk menyatakan bahwa kita selalu ditemani Allah. Sepanjang manusia menjalani
kehidupannya sebagai hamba Allah, dalam arti menjadikan pelbagai kesempatan
hidupnya untuk semata-mata beribadah kepada Allah, maka ia akan selalu ditemani
oleh Allah: Baik dalam keadaan suka maupun duka; baik dalam keadaan seorang
diri maupun sedang berada di tengah keramaian. Singkat kata, dalam pelbagai
situasi dan kondisi. “Dan Dia selalu
menyertai kamu di mana saja kamu berada.” Demikian, Allah berfirman dalam
Al-Quran.


No comments:
Post a Comment