Laa'tahzan

welcome

Assalamualaiqum Wr.Wb Hay:) ,nikmatilah kunjungan anda di Blog Laa'tahzan ini, berikan komentar anda jika ada hal yang ingin di tanyakan. Ambilah manfaat yang banyak dari blog ini, dan jangan lupa untuk share yaa SEMOGA MEMBANTU :)

Friday, January 16, 2015

Menyelami Samudra Al-Fatihah


Oleh : Anwar Nurulyamin


Dalam kehidupan kita sebagai kaum muslimin, tidak kurang dari tujuh belas kali dalam sehari semalam, kita berinteraksi dan bersentuhan dengan surat al-Fatihah, yaitu ketika melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Belum lagi kalau ditambah dengan shalat-shalat sunat; misalnya sunat rawatib, tahajjud, witir, dan lain-lain. Itu, berarti bahwa begitu intennya kita bergaul dengan surat al-Fâtihah. Jadi, sungguh betapa kayanya spiritual kita sekiranya dapat memahami, menghayati, dan menjiwai ayat demi ayat, kalimat demi kalimat, kata demi kata dari surat al-Fâtihah itu.
            Sungguh, bukan suatu kebetulan kalau al-Fâtihah dipilih oleh Allah dan Rasulullah SAW. sebagai bacaan utama (rukun) dalam shalat. Ia memang telah diprogram dan diformulasikan demikian, agar benar-benar menjadi kekayaan hidup dan menjadi jiwa (spirit) bagi perjuangan kita. Allah SWT. telah menurunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW tujuh ayat Al-Quran yang kelak akan dibaca oleh umatnya secara berulang-ulang dalam kehidupannya, terutama di dalam shalat. Itulah sebabnya, sehingga al-Fatihah dinamai al-sab’u al-matsâni (QS.15:87). Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmudzi, Rasullah SAW. menyatakan bahwa surat yang semisal dengan al-Fâtihah tidak pernah diturunkan dalam kitab-kitab suci para Nabi sebelumnya, termasuk di dalam kitab Taurat maupun Injil. Artinya, ia memiliki keistimewaan khusus yang sangat boleh jadi merupakan salah satu keunggulan ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Fakta sejarah ini sekaligus menjadi bukti dan motivasi bagi kaum muslimin untuk benar-benar memaknai, menghayati, dan menjiwai serta mengoptimalkan fungsi atau manfaat surat al-Fâtihah itu dalam kehidupan kita.
            Disamping berfungsi sebagai sebagai ummu al-Kitâb (induknya Kitab-Kitab Suci), al-Fâtihah juga mempunyai banyak fungsi lain misalnya sebagai al-Syifâ (obat penawar) bagi segala jenis penyakit, baik penyakit lahir terutama penyakit batin. Demikian, antara lain dinyatakan oleh  Rasulullah SAW dalam  hadis yang diriwayatkan oleh ad-Dârimi. Bahkan dalam riwayat para Imam Hadis yang diterima dari Abu Sya’id al-Khudri, dikatakan bahwa al-Fâtihah dapat difungsikan sebagai al-Ruqiyyah, dalam arti sebagai “jampi” untuk pengobatan alternatif jenis-jenis penyakit tertentu, seperti penyakit yang disebabkan oleh sengatan ular berbisa.[1] Namun demikian, patut dipahami bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, tergantung kepada sampai sejauh mana tingkat pemahaman, penghayatan, penjiwaan, dan keyakinan kita akan kemanjuran firman-firman Allah dalam kehidupan kita. Dengan kata lain, tergantung kepada keyakinan dan komitmen kita dalam menjiwai dan mengamalkan nilai-nilai inti ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketika Nabi Ibrahim A.S. ditanya perihal keberadaan Allah pada saat ia sakit, maka dengan mantap ia berkata: “Apabila aku sakit, maka Dia-lah yang menyembuhkanku” (QS.26:80). Dengan demikian, efektifitas ayat-ayat Al-Quran sebenarnya dapat dirasakan oleh siapa pun, tergantung pada intensitas penghormatan, apresiasi, dan kesungguhan tiap-tiap individu dalam menghayati dan mengamalkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca dan dipelajarinya. Al-Quran, semakin didalami dan dihayati, seperti surat al-Fâtihah ini, maka akan kian dirasakan lebih banyak manfaatnya dalam kehidupan. Untuk itu, mari kita selami lebih dalam lagi keluasan dan kedalaman samudra al-Fâtihah untuk memperoleh lebih banyak lagi pelbagai mutiara hikmah dan kehidupan.
            Menurut Syaikh al-Fakhr Razi, di dalam huruf ba yang terdapat dalam lafadz basmalah (al-Fâtihah ayat 1), sedikitnya terkandung tiga makna yaitu: Pertama, lilibtidâ’i, artinya untuk pernyataan memulai atau melandasi suatu pekerjaan yang akan kita lakukan. Sehingga sesederhana apa pun pekerjaan kita akan mempunyai akar, landasan atau pondasi yang bernilai ketuhanan. Sebab, semegah apapun karya manusia apabila tidak didasari oleh pondasi yang bernilai ketuhanan (Ilâhiah), maka pekerjaan itu dinilai hampa, tidak bernilai, dan tidak bermakna, alias sia-sia (QS.24:39). “Setiap perkara yang mengandung nilai kebaikan tetapi tidak dilandasi dengan bismillâhirrahmânirrahîm maka ia terputus, tidak berakar dan tidak bergantung, serta tidak bernilai dan tidak bermakna.” Demikian, sabda Nabi SAW dalam salah satu hadis.
            Kedua, makna huruf ba yang terdapat dalam lafadz basmalah adalah lilisti’ânah, artinya untuk memohon pertolongan Allah. Ketika kita hendak memulai suatu pekerjaan, lalu kita awali dengan membaca basmalah seraya kita maknai dan kita niatkan untuk memohon pertolongan Allah, maka sesulit apa pun pekerjaan kita pasti akan diback up atau ditolong oleh Allah. Ketika kita bekerja dan pekerjaan kita ditolong oleh Allah: Maka yang sulit akan terasa mudah; yang berat akan terasa ringan; yang jauh akan terasa dekat; yang komplek akan terasa sederhana. Secara psikologis, juga kita tidak akan merasa terbebani. Sebab, kita akan selalu menyadari bahwa tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada kita bukan semata-mata karena instruksi atasan, bukan semata-mata bertanggung jawab kepada manusia. Tapi, hakikatnya bertanggung jawab kepada Allah. Karena itu, target yang diharapkannya pun bukan semata-mata terbaik menurut penilaian manusia, tapi terbaik dalam pandangan Allah. Sesuatu yang dinilai baik oleh manusia belum tentu dinilai baik oleh Allah. Tetapi, sesuatu yang terbaik menurut Allah sudah pasti terbaik pula menurut manusia yang berpikiran objektif dan berakal sehat. Inilah salah satu refleksi dari makna ikhlas.
            Ketiga, makna huruf ba yang terdapat dalam basmalah adalah lis-shahâbah, artinya untuk menyatakan bahwa kita selalu ditemani Allah. Sepanjang manusia menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah, dalam arti menjadikan pelbagai kesempatan hidupnya untuk semata-mata beribadah kepada Allah, maka ia akan selalu ditemani oleh Allah: Baik dalam keadaan suka maupun duka; baik dalam keadaan seorang diri maupun sedang berada di tengah keramaian. Singkat kata, dalam pelbagai situasi dan kondisi. “Dan Dia selalu menyertai kamu di mana saja kamu berada.” Demikian, Allah berfirman dalam Al-Quran.           
                 




[1] Lihat Tafsir al-Munir jilid 1 halaman 54.

No comments:

Post a Comment